Tangguh dengan Mitigasi, Bencana Bukan untuk Ditangisi

tangguh dengan mitigasi

Tangguh dengan Mitigasi, Bencana Bukan untuk Ditangisi. Tinggal di Indonesia adalah hal yang patut bagi saya atau mungkin juga kalian syukuri. Negara yang sungguh kaya akan sumber daya alam, yang tak henti-hentinya dilirik oleh bangsa lain. Belum sampai di situ, pemandangannya pun aduhai! Garis pantai dengan birunya gradasi air laut, hijaunya bukit-bukit, gunung yang berdiri dengan gagahnya, dan pemandangan lainnya yang sungguh memanjakan mata. Tidak hanya itu, coba lihat aneka hasil buminya, aihh Indonesia benar-benar kaya! Betapa Tuhan maha baik dengan kita, disediakannya alam tidak hanya sebagai tempat tinggal. Tetapi dari sana pula kita mendapat begitu banyak manfaat.

Benarkah alam memberikan sedemikian banyak manfaat? Lantas bagaimana dengan rentetan kejadian bencana alam yang kita hadapi beberapa waktu terakhir? Pada akhir tahun 2018 saja tercatat sejumlah bencana alam, baik itu banjir, hingga gempa bumi yang disertai tsunami. Tidak usah yang jauh-jauh, saya pribadi yang pernah tinggal di Makassar dan kini tinggal di Lombok sudah merasakannya. Termasuk peristiwa gempa Lombok yang berlangsung sejak 29 Juli, 5 Agustus dan terus menerus berlanjut setelahnya. Saat mengalaminya, ingin rasanya berkata: seperti inikah alam? Kenapa ia begitu jahat pada kita?

Tangguh dengan Mitigasi, Bencana Bukan untuk Ditangisi

Alami Banjir di Makassar dan Gempa Bumi di Lombok, Bukankah Pengalaman adalah Guru Terbaik?

Saat tinggal di Makassar dulu, saya selalu takut ketika hujan turun. Tidak seperti orang-orang yang menikmati hujan, bagi saya, hujan berarti waktunya untuk selalu waspada. Tidak ada ceritanya nikmatnya terlelap ditemani sejuknya angin kala hujan dan aroma tanah yang basah. Saya baru merasakan tenang, ketika hujan reda. Sekaligus setelah memastikan hujan deras tadi meninggalkan genangan air dalam batas wajar. Setidaknya, tidak sampai menyentuh lantai teras rumah. Ketika terjadi banjir, maka saya akan bersedih sekaligus khawatir. Semua hal mengerikan melintas dalam pikiran. Bagaimana jika air semakin meninggi? Barang-barang di rumah akan basah, rumah terendam, kami harus kemana? Kalau bendungan sudah begitu penuh, pintu air pasti akan dibuka. Jika tidak dibuka, maka bendungan akan jebol dan satu kota bisa benar-benar terendam. Ya, saya setakut itu dulu.

Saya bersyukur, kepindahan saya ke Lombok setidaknya menghilangkan satu kekhawatiran. Pulau Seribu Masjid ini tidak seperti kota saya dulu yang langganan banjir. Di sini untuk pertama kalinya saya bisa menikmati betapa nikmatnya tidur di kala hujan turun. Saya tidak lagi terkaget-kaget bangun untuk menaikkan semua barang yang kondisinya tepat di atas lantai. Sebab setiap kali hujan turun, meskipun deras, saat waktunya reda air pun akan surut dengan segera. Alhamdulillah, mungkin saluran air di kota ini jauh lebih baik. Tapi tunggu dulu, selesai banjir, saya justru dihadapkan dengan bencana alam lainnya yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ia adalah gempa bumi, bencana yang tidak kalah mengerikannya dari banjir. Sangat menakutkan, bahkan! Saya panik dan tidak tahu harus melakukan apa ketika hal tersebut terjadi. Ah, iya..saya akui..saya belum menerapkan Budaya Sadar Bencana sama sekali.

tangguh dengan mitigasi

menara masjid di samping rumah, retak, sebelum akhirnya benar-benar jatuh.

Belajar menjadi Tangguh, Bukan Melulu Mengeluh

Usai merasakan kejadian gempa besar di Lombok berturut-turut di tanggal 29 Juli, 5 Agustus, 9 Agustus, hingga 19 Agustus 2018 lalu, saya kemudian belajar. Belajar untuk menjadi pribadi yang tangguh, tidak lagi terus-terusan mengeluh. Jangan ditanya, butuh waktu berbulan-bulan untuk menghilangkan rasa takut itu. Sungguh, gempa membuat saya tidak lagi seproduktif dahulu. Saya takut ke pantai, pusat perbelanjaan, bahkan ke bagian belakang rumah saya sendiri. Bayangan runtuhnya material selalu terlintas, tangisan anak pun para wanita teringat jelas. Saya takut, bahkan saat gempa-gempa besar itu sudah tidak ada lagi. Tapi sampai kapan? Jika saya takut, panik dan selalu mengeluh, apa kabar dengan anak-anak saya? Saya ini seorang ibu dari dua orang anak perempuan yang masih kecil. Maka saya tegaskan pada diri sendiri: saya harus tangguh!

Saya belajar menjadi tangguh dengan terlebih dahulu memahami bahwa alam adalah tempat kita hidup. Sejatinya, alam akan terus berproses demi keseimbangannya. Banjir, gempa bumi, letusan gunung api, tanah longsor dan lainnya adalah bencana alam. Kita harus tahu itu, dan yang terpenting, kita harus memahami bahwa sebenarnya bencana-bencana tadi dapat kita hindari. Setidaknya, kita dapat meminimalkan risikonya. Kuncinya adalah dengan Kenali Bahayanya, Kurangi Risikonya.

Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita

Bersahabat dengan Alam, Belajar Hidup Harmoni dengan Bencana

Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, betapa bisa tinggal di negara Indonesia adalah anugerah yang patut kita syukuri. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, yang cantik pemandangannya. Tapi di sisi lain, kita harus sadar bahwa keindahan itu juga berasal dari posisi Indonesia yang memang luar biasa. Ia menjadi satu dari beberapa negara yang masuk dalam kawasan Cincin Api Pasifik atau biasa disebut Ring of Fire. Coba hitung berapa banyak gunung api yang berada di Indonesia, betapa banyak bukan? Lantas apa hubungannya? Letusan gunung api tersebut memang bencana, namun di sisi lain ialah yang menjadikan tanah subur. Gempa bumi memang bahaya, bencana yang maha dahsyat. Tapi seperti itulah alam berproses, bergerak demi keseimbangannya.

Tugas kita adalah bersahabat dengan alam, belajar hidup harmoni dengan bencana. Bukankah kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di kawasan yang 100% bebas bencana? Maka solusi terbaiknya yakni dengan bersahabat dengan alam, dan menjalani itu semua. Bagaimana caranya bersahabat dengan alam? Sederhana saja: Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita. Alam telah ditugaskan oleh Yang Maha Kuasa untuk memberikan manusia sebanyak-banyaknya, sebab bagi-Nya, manusia adalah makhluk terbaik. Maka jagalah pemberian tersebut dengan baik, sebab ketika kita berbuat merusak, bencana alam yang merusak pula akan menghampiri kita.

tangguh dengan mitigasi

Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita.

Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita

Lihatlah betapa melimpah ketersediaan air yang kita dapatkan? Jagalah, agar ia terus jernih mengalir, hingga kelak dinikmati penerus kita. Jangan sumbat alirannya dengan tumpukan-tumpukan sampah. Sebab ketika alirannya tersumbat, dari sanalah bermula yang kita sebut banjir. Selanjutnya, hutan. Tahukah mengapa disebut paru-paru dunia. Sebab ia bertindak sebagai penyaring udara, pencipta udara segar yang sampai detik ini kita hirup. Jangan heran ketika udara sudah tidak lagi segar, banjir terjadi dengan mudahnya, pun longsor sebab tak ada lagi yang menahan lonjakan debit air hujan. Cobalah periksa, tentu ini tidak serta merta terjadi jika tidak ada pembalakan liar dan aktivitas lainnya yang menjadikan hutan gundul.

Gunung Api, kita melihatnya sebagai sesuatu yang mengerikan. Padahal dari letusannyalah kemudian hadir tanah yang sangat subur, yang menghasilkan aneka buah-buahan dan sayuran segar. Tapi gunung dan bukit-bukit yang kita lihat kini, bisa saja sudah terkontaminasi tanahnya dengan bahan-bahan kimia lainnya. Kita, manusia, sering kali telah mengambil/menambang materialnya (baik pasir maupun batu) semena-mena, tanpa perhitungan. Itu baru sebagian contoh betapa selama ini kita tidak menjaga alam dengan baik. Padahal alam telah melaksanakan apa yang ditugaskan oleh Sang Pencipta dengan sangat baik. Lihatlah, dari satu biji pohon mangga yang kita tanam di halaman rumah, kelak akan menghasilkan banyak sekali buah mangga yang lezat. Demikianlah analogi sederhana perihal betapa baiknya alam kepada kita.

Sekarang, Saatnya Siap untuk Selamat

Ketika kita sudah menjaga alam dengan baik, tidak berlaku semena-mena dan di luar perhitungan. Maka hal selanjutnya yang perlu dipahami adalah menanamkan budaya sadar bencana sejak dini. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga untuk diterapkan pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebab kita tidak akan pernah lari dari yang namanya bencana. Khusus untuk gempa bumi saja, kita harus paham bahwa posisi Indonesia berada di daerah “langganan” gempa bumi. Selain dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik, Indonesia juga berada di atas tiga tumpukan lempeng benua. Mulai dari lempeng Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasi dari utara, hingga Pasifik dari timur. Dengan menerapkan budaya sadar bencana, maka kita dapat meminimalkan risiko dari setiap bencana alam yang terjadi.

Budaya sadar bencana itu sendiri dapat meliputi hal-hal berikut, diantaranya:

  • Adanya edukasi (baik berupa penyampaian materi seperti seminar, talkhsow dll) maupun pameran riset yang di dalamnya menjelaskan bencana-bencana alam apa saja yang mungkin terjadi di Indonesia.
  • Dimasukkannya materi tentang kebencanaan dan mitigasi di dalam kurikulum sekolah, baik yang sederhana di tingkat TK, SD hingga tingkat SMP dan SMA.
  • Mendirikan bangunan (baik rumah, sekolah maupun fasilitas umum lainnya) dengan memahami kondisi alam sekitar, sehingga desain dan pilihan materialnya pun benar-benar dikaji dengan baik.
  • Memahami lingkungan tempat tinggal, lokasi titik kumpul yang aman berikut dengan jalur evakuasinya
  • Menjaga alam terutama lingkungan sekitar dengan baik. Tidak membuah sampah di sembarang tempat, menjaga kelestarian hutan, dan lainnya.

Sudah seharusnya kita menerapkan budaya sadar bencana sejak dini, dimulai dari diri sendiri. Demikian pula dengan menjaga alam, sudah waktunya kita sadar dan berbenah diri. Betapa ketika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita. Seperti salah satu tugas dan fungsi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), yakni memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana. Dimana di dalamnya mencakup pencegahan bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. Kita pula bertugas untuk memahami mitigasi sejak dini, menjadi pribadi yang siap untuk selamat.

Ayo, sekarang saatnya. Tangguh dengan mitigasi, sebab bencana bukan untuk ditangisi.

#TangguhAwards2019
#KitaJagaAlam
#AlamJagaKita
#KenaliBahayanyaKurangiRisikonya
#BudayaSadarBencana
#SiapUntukSelamat

Biasa dipanggil Andy. Pernah tinggal lama di Makassar dan sekarang di Mataram, Lombok. Ngeblog sejak 2007. Senang kulineran, staycation, kopdaran di cafe, browsing produk di toko online tapi gak beli, dan tentu saja...senang menulis :) Bisa dikontak di andyhardiyanti@gmail.com

5 Comments

  • Didit 20 September 2019 at 4:01 pm

    Kita Jaga Alam. Alampun Jaga Kita

    Kereen 🙂

    Reply
  • Edi 20 September 2019 at 5:21 pm

    Mantab bu guru

    Reply
  • Baiq Rosmala 21 September 2019 at 12:37 am

    Wah baru tahu kalau di Makassar sering banjir. Kalau ngomongin gempa, jadi ingat waktu itu. Yang bikin khawatir tanpa sebab kadang karena seringnya mendengar berita hoax yang beredar. Semoga enggak dateng lagi gempa yang besar-besar itu ya

    Reply
  • Afifah Mazaya 21 September 2019 at 5:18 pm

    Makin kuat dengan adanya ujian bencana, ya, Mbak. Untuk negara kayak Indonesia, memang perlu banget edukasi soal bencana alam. Bisa mulai dari sekolah, misalnya.

    Reply
  • Safprada 23 September 2019 at 12:51 pm

    Kita perkuat tauhid kita. Sudah dijelaskan secara detail dalam Al Quran. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia. Di tambah lagi Allah menyukai keindahan terus kita sebagai ummatnya lantas mau seperti apa?.

    Kalau keimanan kuat mungkin kita tidak akan merusak alam ini begitu saja, ya ng?

    Salah satu contoh yang sering kita sepelkan yaitu ttg sampah yang kita titipkan ke tukang sampah, koc bisa tukang sampah? Silaq di baca

    safprada.com/jangan-cepat-percaya-pada-tukang-sampah

    Reply

Leave a Comment