Selamat Jalan Ayah: Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ(K)

selamat jalan ayah

Selamat Jalan Ayah: Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ(K). Selamat Jalan Ayah: Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ(K). Orangtua dari sahabat saya, dr. Farina Dwinanda Faisal. Ya, almarhum akrab saya sapa dengan sapaan ‘ayah’. Saya mengenalnya, sejak pertama kali mengenal sahabat saya, dr. Farina atau Nino. Ayah tidak hanya orangtua dari sahabat saya, ayah juga sahabat dari orangtua saya: bapak. Bisa dibayangkan betapa penuh warnanya hari-hari kami dulu, saya bersahabat, orangtua kami pun bersahabat. Saya dan Nino duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama yang sama, berangkat dan pulang sekolah sama-sama. Demikian pula dengan Bapak dan Ayah, keduanya sama-sama menempuh pendidikan S3 yang sama di Universitas Hasanuddin, meski tentu saja dengan keilmuan yang berbeda. Tak jarang mereka berdiskusi, bertukar bahan bacaan, membahas sudah sejauh mana tugasnya masing-masing, dan lainnya.

Nino adalah sahabat saya. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Rumah kami hanya berjarak dua blok, sangat dekat. Dari 24 jam waktu yang tersedia dalam sehari, sebagian besar saya habiskan bersama Nino. Entah itu saat bertemu di sekolah, maupun saat mengerjakan banyak hal di lingkungan rumah. Persahabatan kami, sudah sampai pada tahap di mana orangtua kami sangat percaya ketika saya bersama Nino, maupun Nino bersama saya. Saya mengenal keluarga Nino dengan baik, termasuk Ayah. Terlebih lagi ketika Ayah dan Bapak menempuh pendidikan yang sama, kami semakin akrab lagi. Ayah memang sosok yang tidak banyak bicara, semasa hidupnya selama saya bertemu dan bertatap muka secara langsung, saya percaya, almarhum adalah sosok yang sangat baik. Sangat menginspirasi.

Saya Mengenal Ayah, Sejak Saya Mengenal Nino

Karena demikian dekatnya hubungan saya dan Nino, sampai ke keluarga masing-masing dari kami. Maka tidak heran, saat saya melangsungkan pernikahan pada 24 Juli 2010 di Lombok, Ayah dan Ibu Nino tidak segan-segan memberangkatkan Nino bersama keluarga saya. Untuk tidak saja hadir, tetapi ikut serta mempersiapkan acara pernikahan saya. Ayah dan Ibu meminta Nino mewakili keluarga untuk hadir di Lombok. Saya dan keluarga tentu saja sangat senang dengan hal tersebut, yaa kami memang sedekat itu.

selamat jalan ayah

Saya, Irma, dan Kak Rara- foto bersama Nino dan Suami, Ibu, beserta Ayah, saat acara resepsi pernikahan Nino

Time flies, beberapa tahun setelahnya. Saya menerima kiriman undangan dari Makassar. Undangan pernikahan Nino, yang akan digelar 7 Juli 2017. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya. Nino adalah sahabat saya, yang turut hadir saat pernikahan saya, datang jauh-jauh dari Makassar. Alhamdulillah, hari itu saya bisa menghadiri acara Nino bersama keluarga. Bisa bertemu keluarganya, Ayah-Ibu-Fahmi-Dila-Sasa-Fadel dan lainnya. Percayalah, saya sangat mengenal mereka. Mungkin sudah ketetapan Allah, hari itu pula menjadi hari terakhir saya berjumpa dengan Ayah. Sebab saat liburan ke Makassar pada Oktober 2019 lalu, saat ke rumah Nino, saya hanya bertemu Ibu. Ayah sudah berangkat bekerja.

Selasa, 1 Desember 2020, saya mendapat kabar dari seorang teman dokter, sebuah pesan broadcast yang mengabarkan bahwa dr. Faisal Idrus sedang sakit. Lengkap dengan sederetan kalimat medis, yang sama sekali tidak saya ketahui artinya. Satu yang pasti langsung terpikir oleh saya: Ayah sedang dalam kondisi kritis. Tanpa menunggu lama, saya konfirmasi pesan tersebut dengan Nino, dan dibenarkan. Wajar jika kabar tersebut tidak saya dapat dari Nino, ia tentu sedang sibuk dengan situasi yang demikian gentingnya.

Selamat Jalan Ayah: Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ(K)

Sejak kabar sakit tersebut, sesekali saya tetap menghubungi Nino untuk menanyakan kabar Ayah. Sampai di suatu pagi di tanggal 12 Desember 2020, saya mendapat kabar dari kakak di Makassar. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.. Ayah sudah berpulang, sejak pukul 3 dini hari. Ya Allah, saya terdiam sejenak, berdoa, dan menenangkan diri sendiri. Beberapa jam pertama setelah mendengar kabar, saya bisa menjalani aktivitas seperti biasa. Tentunya usai mengirimkan pesan singkat ke nomor whatsapp Nino dan Dila, juga mengabarkan berita ini ke beberapa teman dekat lainnya. Jam berganti jam, saya masih berusaha mengendalikan diri, saya takut rapuh, saya takut jatuh. Meski tak banyak bicara, tak sering kali berinteraksi, tapi Ayah memiliki tempat tersendiri di sini. Sungguh..

Terlebih lagi ketika mengingat bagaimana hari-hari ketika saya bermain dan belajar bersama Nino. Momen-momen di mana ada Ayah di sana, atau ketika saya hanya melihat bagaimana almarhum betapa sabar dan lembut pada siapa saja. Ketika saya mengingat betapa sederhananya Ayah, betapa sayangnya ia pada anak-anaknya. Makin ambyar rasanya ketika membaca satu per satu komentar mahasiswa, coass, residen, atau teman sejawat yang mengenal Ayah semasa hidupnya. Sosok yang murah senyum, siap dihubungi kapanpun, tidak segan membantu, dan yang terpenting: tidak pernah telat mengerjakan shalat berjamaah tepat waktu.

selamat jalan ayah

Ayah dan Ibu, saat malam mappacci pernikahan Nino

Ayah, Sosok Orangtua-Dokter-Pengajar yang Menginspirasi

Sehari-harinya, Ayah adalah seorang dokter spesialis Kesehatan Jiwa (Psikiater), dosen, juga tentu saja: seorang Ayah bagi kelima anaknya. Ayah pun sosok suami yang sangat mengerti Ibu, setidaknya dari apa yang selama ini saya perhatikan. Saya bersaksi, selama hidupnya, Ayah merupakan pribadi yang baik kepada siapa saja, dan bertaqwa pada Allah SWT. Ketika kalian membaca tulisan ini, coba tanyakan tentang sosok dr. Faisal Idrus pada orang-orang sekitarnya, orang yang mengetahuinya, percayalah…mereka akan menceritakan kesan yang sama. Ya, sungguh Ayah adalah sosok orangtua, dokter, sekaligus pengajar yang menginspirasi. Kalian bisa membaca beberapa kesan yang saya dapatkan dari almarhum semasa hidupnya, dari beberapa cerita berikut.

Berangkat ke Kampus/Rumah Sakit menggunakan Pete-pete

Hal ini yang paling saya ingat dari Ayah. Dari hal ini pula saya menangkap kesan betapa disiplin dan sederhananya almarhum. Ayah berangkat pagi sekali ke kampus/rumah sakit tempatnya bekerja. Saya katakan pagi sekali, karena ketika saya dan Nino hendak berangkat ke sekolah pada pukul 06.45, Ayah telah berangkat jauh lebih awal dari kami. Entah sekitar pukul 06.30 atau lebih awal lagi. Itu adalah waktu yang terbilang cepat untuk memulai aktivitas di Kota Makassar. Terutama bagi kami yang tinggalnya masih di pusat kota.

status fb kakak saya, Diyah, tentang sosok dr. Faisal Idrus

Ayah berangkat pagi sekali, sangat rapi, dengan membawa tas andalannya. Saat berangkat cepat, saya dan Nino bisa berangkat bersama dengan Ayah. Atau pemandangan tersebut biasa kami lihat, ketika kami libur sekolah dan sudah siap bermain di pagi, sementara Ayah bersiap berangkat bekerja. Ah ya, coba tebak almarhum naik apa? Mobil pribadi? Tentu saja tidak, Ayah berangkat ke tempat kerja menggunakan pete-pete. Angkutan kota/alat transportasi publik di Makassar. Di dalam pete-pete, Ayah tidak segan menyapa dan berbincang dengan siapa saja yang dikenalinya. Entah itu mengobrol santai atau berbagi ilmu yang dimilikinya. Cerita ini saya dengar sendiri dari kakak saya, Kak Diyah, yang kerap kali satu pete-pete dengan Ayah.

Sosok yang Asyik bagi Anak-Anaknya

Kala itu saya dan Nino sedang mengutak-atik file di komputer. Ada yang mengetuk pintu kamar, ternyata Ayah.

Ayah: “Rina, sudah nonton film ini nak? Bagus bede ceritanya”
Nino: “Belumpi…”
Ayah: “Rinami pade nonton duluan. Habis itu baru Ayah”,
Nino: “Oo iyaa.. makasih Ayah”

PS. Nino disapa dengan nama Rina oleh ayahnya.

Sejurus kemudian DVD film tersebut sudah ada di meja komputer di kamar Nino. Saya yang tidak tertarik sama sekali dengan film kala itu sampai tidak ingat judul filmnya. Tapi yang saya ingat, haloo…ini Ayah-anak satu frekuensi apa gimana? Asyik bener.. Bukan cuma tentang film, urusan buku bacaan dan teknologi/gadget yang lagi hits saat itu pun Ayah cocok banget kalau ngobrol sama Nino, ya mereka sedekat itu~

Tentu saja Ayah juga dekat anak-anak lainnya, selain Nino. Dengan cara pedekatannya masing-masing. Saya sangat ingat bagaimana ketika Adzan berkumandang, Ayah sudah rapi dengan pakaian shalatnya, bersiap ke masjid. Tapi beberapa saat sebelumnya, ia mengecek satu per satu pintu kamar anaknya. Tidak memaksa, tidak dengan cara yang kasar. Tapi sebuah sapaan lembut, yang justu bisa membuat kita malu kalau tak segera menurut.

Fahmi, Rina, Dila, Sasa, Fadlu…

Shalat nak…

Iya, hanya mengucap begitu. Sekali saja. Sepulangnya dari masjid, Ayah tidak bertanya atau menyuruh apa-apa lagi. Tapi justru cara yang demikian, yang membuat malu rasanya kalau tidak segera menghentikan apa yang sedang dikerjakan.

Tidak Banyak Bicara, Namun Kita Bisa Merasakan Kebaikannya

Dibanding Ibu, Ayah memang tidak banyak bicara. Saat bermain ke rumah Nino, saya bisa berbicara panjang lebar, bercerita tentang artis idola kami kala itu, atau yang lainnya. Saya dan Ibu bisa ngobrol seru, tentang apapun. Lain halnya dengan Ayah, beliau tak banyak bicara. Saat menunggu Nino bersiap pergi sepedaan sore, saya duduk di ruang tamu, di sana sudah ada Ayah yang asyik membaca. Saya tentu saja canggung untuk menyapa duluan, tapi kikuk juga kalau saling terdiam.

Tak lama, Ayah meletakkan bukunya di meja, memperbaiki posisi kacamatanya. “Bagaimana kabar Bapak, nak?”, Ayah membuka pembicaraan. “Alhamdulillah sehat…”, jawab saya. “Oo iye’, semoga bisa sama-sama segera selesai disertasinya kami berdua ini”, lanjut Ayah. Tidak lupa dengan segaris senyum yang ia perlihatkan setiap kali berinteraksi dengan teman bicaranya. Ayah bicara seperlunya, tapi setulus hati, tidak sambil melakukan hal lain.

Seorang Dokter dan Pengajar yang Menginspirasi

Saya tidak tahu bagaimana sosok almarhum di kampus maupun rumah sakit tempatnya bekerja. Tapi setidaknya, saat mengikuti malam takziyah hari pertama dan kedua yang diselenggarakan secara online oleh Psikiatri FK Unhas, saya jadi paham bahwa beliau menginspirasi. Baik dari segi sikap, tutur kata, dedikasi keilmuan, pun yang urusannya dengan agama. Seorang dokter residen (dokter yang menjalani pendidikan dokter spesialis) memberikan testimoninya, tentang bagaimana almarhum meninggalkan kesan yang sangat baik bagi seluruh orang yang dikenalnya. Almarhum yang akrab disapa Abah oleh mahasiswa, coass, dan para dokter residen ini, merupakan sosok yang ramah, murah senyum, selalu menyapa dengan Assalamualaikum, bisa dihubungi kapanpun, tidak segan membantu sesuai kemampuan yang dimilikinya, dan tentu saja: tidak pernah ketinggalan shalatnya. Berjamaah dan tepat waktu.

Demikian pula dengan pasien-pasien yang ditanganinya. Sikap ramah, murah senyum, dan bertutur kata yang baik pun ia terapkan. Tidak lupa, setiap visite, almarhum mendoakan pasien-pasien yang ditemuinya, dan meyakinkan pada mereka untuk percaya bahwa kesembuhan datangnya dari Yang Maha Kuasa.

Dear Ayah,

Dear Ayah, saya sudah izin pada Nino untuk membuat postingan ini.

Saya tidak tahu apakah saya bisa bertahan untuk tidak menitikkan air mata atau tidak. Pada kenyataannya, esok, lusa, atau di hari yang akan datang, saat saya ke Makassar, saya tidak akan lagi bertemu Ayah. Kita memang tidak sering berbincang, ah tapi rasanya tetap saja ada yang hilang.

Saya membuat tulisan ini sebagai self healing, untuk menenangkan diri saya sendiri, syukur-syukur bisa turut menenangkan hati sahabat saya, Nino. Mungkin juga hati Ibu, PamPam (Fahmi), Dilce (Dila), Sasa, ataupun Fadel (Fadlu). Meski ternyata susah, Ayah. Setiap kesan yang diucapkan oleh orang-orang yang Ayah tinggalkan, setiap itu pula suara mereka bergetar, demikian pula pada hati kami. Sungguh, Ayah adalah pribadi yang baik, kepada siapa saja, dan taat pada Allah SWT, Sang Pencipta.

Selamat Jalan Ayah: Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ(K). Teriring doa untuk Ayah.. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu..

Biasa dipanggil Andy. Pernah tinggal lama di Makassar dan sekarang di Mataram, Lombok. Ngeblog sejak 2007. Senang kulineran, staycation, kopdaran di cafe, browsing produk di toko online tapi gak beli, dan tentu saja...senang menulis :) Bisa dikontak di andyhardiyanti@gmail.com

1 Comment

  • Mugniar 15 December 2020 at 7:21 am

    Ya Allah, ikut mewek bacanya.

    Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahummaghfirlahi warhamhu wa ‘afihi wa’fu’anhu. Semoga almarhum diampuni semua dosanya, dilapangkan kuburnya, dan segenap keluarganya diberi ketabahan.

    Reply

Leave a Comment