Memaafkan itu Mudah, Tapi Melupakan itu Sulit

memaafkan itu mudah

Memaafkan itu Mudah, Tapi Melupakan itu Sulit. Apa iya, memaafkan itu mudah, tapi melupakan adalah hal yang sulit? Kenyataannya, mesin pencari merekomendasikan kata kunci tersebut. Berarti cukup banyak kan pengguna internet yang melakukan pencarian dengan rentetan kata itu? Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga sih. Coba diingat lagi, sudut pandang ketika kita menjadi individu yang berbuat salah, pun sebaliknya- ketika orang lain, entah siapa, berbuat salah pada kita. Apakah ketika kita meminta maaf, lalu dimaafkan, segalanya kembali baik-baik saja seperti sedia kala? Kemudian ketika seseorang meminta maaf pada kita, dengan mudahnya lisan kita memaafkan, apakah lantas sejalan dengan perasaan melupakan segala hal yang terjadi di waktu lalu? Ya, hanya kita pribadi yang tahu jawabannya.

Ah, makin ke sini topik yang diangkat pada tantangan one day one post komunitas Kumpulan Emak Blogger (KEB), 19-25 Oktober 2023 makin berat saja. Sudahlah kemarin membahas kaitan menulis dengan kesehatan mental, kali ini diminta berpikir perihal memaafkan itu mudah, tapi- ada tapinya. Hahaha. Bismillah, semoga teman-teman pembaca bisa betah membaca ribuan kata yang saya sampaikan pada postingan kali ini. Anggaplah apa yang saya dan teman-teman blogger KEB lakukan lewat tantangan one day one post menjadi wujud pengabdian, pun rasa syukur dalam rangka Hari Blogger Nasional, yang jatuh pada tanggal 27 Oktober setiap tahunnya. Cieee pengabdian, aslinya sih penebusan dosa (versi saya) kali ya, efek punya blog, tapi jarang diisi~

Benarkah Sudah Saling Memaafkan?

Saya berpikir keras soal topik memaafkan ini. Sampai pikiran saya tiba pada momen betapa ramainya orang-orang saling maaf-maafan. Entah itu yang disampaikan secara langsung, telepon, pesan singkat, maupun media sosial. Momen apa lagi kalau bukan saat peringatan Hari Raya Idul Fitri. Segala pilihan kata terbaik digunakan, mulai dari membuat rangkaian kata indah puisi malam takbir hingga tepat di hari raya, sampai permohonan maaf yang singkat, jelas dan padat, namun sungguh kadang terasa lebih personal. Hari itu, hari permintaan maaf- dan sikap memaafkan ramai disampaikan.

Namun apakah benar sudah saling memaafkan? Atau sekadar menjalankan tradisi, dan ikut euforia semata? Terlebih lagi, belakangan -di zaman semakin canggihnya teknologi- bahkan sekadar ucapan minta maaf pun diduplikasi, satu ucapan di-broadcast, atau versi lebih singkat: pakai sticker Whatsapp. Wow! Dosa gak sih kalau ada keraguan bahwa di ujung jalur komunikasi sana, ada permintaan maaf yang belum sungguh-sungguh disampaikan?

Betapa Pentingnya Saling Memaafkan

Tidak ada manusia yang sempurna. Manusia itu tempatnya salah dan dosa. Jadi ya jangan kaget kalau ada saja manusia yang berbuat salah, kagetlah ketika ada manusia yang berkali-kali melakukan kesalahan yang sama- tapi tak kunjung punya rasa bersalah, rasa menyesal, terlebih lagi keinginan untuk meminta maaf. Padahal, dalam Islam, sudah dituangkan banyak sekali ayat-ayat perihal keutamaan saling memaafkan. Salah satunya yakni:

“Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa.” – QS. An-Nisa (4), ayat 149.

Ya, Allah SWT menegaskan di sana bahwa penting bagi kita, umatnya, untuk melakukan kebaikan, pun menyembunyikan kebaikan (tidak dipamerkan), serta memaafkan kesalahan yang orang lain lakukan atasmu. Mengapa? Karena Allah SWT saja, Dia yang menciptakan kita, Dia yang Maha Segalanya, adalah Dia yang Maha Pemaaf. Kalau Dia saja Maha Pemaaf, lantas apa kabarnya kita yang ‘hina’ ini?

Agar permintaan maaf dan tulusnya kita memaafkan lebih nyata? Ada baiknya, di momen hari raya, misalnya, sampaikanlah dengan cara yang baik, yang lebih personal. Bukan dengan pesan sama yang diteruskan, broadcast, atau stiker. Sekalian saja tidak usah dikirim, tunggu sampai benar-benar bertemu atau ada kesempatan menelpon langsung orang yang dimaksud, barulah kita sampaikan- kita saling memaafkan.

Apa Iya Memaafkan itu Mudah?

Baru terjadi siang tadi. Si sulung saya bercerita, saat saya tak di rumah tadi, si adik mengatainya dengan perkataan monyet. Entahlah, ini si adik benar-benar hendak mengata-ngatai kakaknya, atau asal ucap ala anak usia 5 tahun? Tapi yang saya tahu, kami berempat di rumah tak ada yang seperti itu. Menggunakan nama-nama hewan untuk dikatakan pada anggota keluarga lainnya. Tidak ada. Maka saya yakin, kalau dia menggunakan itu untuk mencela, berarti dia sempat mendengar obrolan di luar sana. Entah di sekolah, tempat les, atau dia mengingat scene yang ada di film Petualangan Sherina? Yang terakhir ini sepertinya tidak pula, sudah bertahun-tahun yang lalu terakhir kali ia menyimak tayangan tersebut.

Pelajaran Memaafkan dari Kakak Beradik

Karena tidak ada di lokasi ketika mereka berantem, tentu saja saya tidak tahu bagaimana perkara mencela itu dimulai. Akhirnya, saya panggil keduanya. Meminta bercerita bagaimana itu semua terjadi. Si adik mengakui bahwa benar ia berkata demikian. Ia menyesal dan berjanji tak mengulanginya lagi. Ah ya, saya tidak eh belum bertanya lebih lanjut mengapa ia berkata begitu, dengar dari mana. Satu yang pasti, si adik pun paham itu sebuah kesalahan. Pada momen yang sama, dengan tulus dan tak tampak mode bercanda, si adik menyampaikan permintaan maafnya pada kakak, pun janji bahwa ia takkan melakukan hal yang sama. Si kakak, yang kesalnya luar biasa tadi, seketika memeluk dan menggendong adiknya yang berjarak usia sekitar 6 tahun itu. Tersenyum, sembari mencium adik- menyatakan bahwa ia sudah memaafkan.

Sepintas terlihat memaafkan itu mudah ya? Pelajaran dari kakak beradik ini, memang memperlihatkan bahwa saling memaafkan itu mudah. Semoga pun demikian jauh di lubuk hati keduanya. Entah perkara mengatai dengan ‘monyet’ atau masalah yang mungkin lebih rumit. Hidup itu gak pernah jauh-jauh dari masalah kan? Ada saja ujiannya, kalau kata banyak pemuka agama, jika ingin semakin tinggi derajatnya, maka kita harus siap-siap diuji. Semakin tinggi, ya semakin naik pula tingkatan ujiannya.

Memaafkan itu Mudah, Tapi Melupakan itu Sulit

Saya akui, saya termasuk pribadi yang gampang sekali meminta maaf. Meminta maaf ya, bukan memaafkan. Bagian ini belum saya kaji lebih dalam- perhatikan lagi. Eaaa… Sampai kemudian oleh pak suami, di suatu kejadian, disampaikanlah bahwa rupanya ia tergolong pribadi yang sebaliknya. Ia justru paling anti menebar permintaan maaf berkali-kali. Jangan semudah itu meminta maaf, nanti akan semudah itu pula berbuat salah. Katanya. Jadi baginya, ketika seseorang meminta maaf, itu berarti sudah berada di level benar-benar merasa bersalah dan berjanji tak mengulanginya lagi. Serta tentu saja, tak akan ada permintaan-permintaan maaf lainnya yang disampaikan dalam waktu dekat dari permintaan maaf sebelumnya. BTW, ini semoga pada mengerti ya.

Nah, maaf versi saya dan pak suami, rasanya tidak ada yang salah. Keduanya adalah prinsip masing-masing. Teman-teman pembaca, entah berada di sisi yang mana. Kalau dalam sisi memaafkan, ya demikian pula. Ada yang tidak berpikir berkepanjangan, alias ada yang meminta maaf, ya dimaafkan. Semudah itu. Ada yang mudah memaafkan, tapi tetap saja, sulit untuk melupakan. Serta ada yang sama sekali enggan bertemu, berkomunikasi dengan si pembuat kesalahan itu tadi. Tidak memaafkan, tidak melupakan pula.

Lantas teman-teman termasuk yang mana?

Biasa dipanggil Andy. Pernah tinggal lama di Makassar dan sekarang di Mataram, Lombok. Ngeblog sejak 2007. Senang kulineran, staycation, kopdaran di cafe, browsing produk di toko online tapi gak beli, dan tentu saja...senang menulis :) Bisa dikontak di andyhardiyanti@gmail.com

1 Comment

  • sheilla 4 December 2023 at 11:18 pm

    lebih suka memendam ketimbang meluapkan itu benar ga si kak?

    Reply

Leave a Comment