Apakah Lombok Semenyedihkan itu? Tulisan ini saya mulai dengan pertanyaaan dari seorang penonton pada screening Sinema Akar Rumput: apakah Lombok semenyedihkan itu? Bukan tanpa alasan, hal tersebut ditanyakan lantaran semua film yang ditayangkan pada Selasa (5/7) semalam, kompak menggambarkan kesedihan. Entah itu dari sisi seorang anak yang tumbuh tanpa asuhan orangtuanya, tentang sarjana yang tidak kunjung bekerja, hingga yang lainnya. Apakah kelak kiblat sineas-sineas di Pulau Seribu Masjid ini adalah perihal hal-hal sedih tersebut? Saya pribadi tidak berpikir sampai ke sana, tapi tertarik dengan diskusi yang kemudian timbul dari pertanyaan tadi. Bagaimana para sutradara menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Serta tentu saja, saya menikmati suguhan empat judul film pendek yang ditayangkan selama sekitar satu jam itu.
Saya dan si sulung-Rani, duduk di baris G19 dan G20. Kami bersyukur bisa menyaksikan seluruh film dari awal hingga akhir, komplit dengan sesi diskusinya. Saat pertama kali melihat e-flyer Sinema Akar Rumput beberapa hari yang lalu, saya tidak ada bayangan ini tuh film tentang apa. Saya mencoba datang sebagai penonton tanpa bekal sama sekali, tidak mencari tahu di media sosial maupun kanal Youtube. Jadi sejak awal, saya sudah berpesan pada si sulung yang berusia 11 tahun tersebut, kalau-kalau ada scene yang mungkin tidak seharusnya ia lihat. Ah, dia sudah cukup mengerti mana yang boleh dan tidak boleh ia lihat, itulah mengapa saya yakin tak apa untuk membawanya. Agar tiket yang disediakan untuk papanya jadi tak sia-sia. Selasa malam kemarin, untuk pertama kalinya kami jalan berdua, dan ternyata keputusan saya tak salah.
Suka Duka Hubungan Anak dan Orangtua
Ya, menyaksikan keempat film tersebut bersama si sulung-Rani adalah keputusan yang tepat. Kalau harus menarik kesimpulan, empat film yang ditayangkan itu sama-sama membahas tentang apa? Maka mungkin suka duka hubungan anak dan orangtua menjadi jawabannya. Emosi kami bercampur aduk, dari dibuat tertawa terbahak-bahak di awal, berpikir, menitikkan air mata, hingga harus terdiam sejenak sebab teramat dalamnya pesan yang disampaikan oleh setiap film. Kami diingatkan kembali perihal betapa besarnya cinta orangtua pada anaknya, berbagai realita di sekitar kita, yang kemudian dikemas dengan tetap menyelipkan segala hal tentang Pulau Lombok. Baik itu keindahan alamnya, budaya, bahasanya (seluruh dialog menggunakan Bahasa Sasak), atau sekadar kebiasaan menyeruput kupi bideng (kopi hitam).
Pemutaran Empat Film Pendek dalam Sinema Akar Rumput
Tayang di bulan Juli, Sinema Akar Rumput. Begitu tertulis di e-flyer yang saya temukan di grup-grup WhatsApp dan postingan media sosial. Dengan tiket hanya seharga 20k, kita bisa menyaksikan empat judul film pendek garapan sineas Lombok. Bersyukur bisa menjadi satu dari sekian banyak penonton, mengingat tidak butuh waktu lama hingga akhirnya tiket nonton ini habis terjual. Teman-teman saya sendiri bahkan ada yang tidak kebagian tiket, sementara kita belum tahu, kapan lagi ada pemutaran selanjutnya. Bertempat di cinema 2 CGV Transmart, salah satu bioskop di Lombok, kami semua berkumpul nonton bareng, dilanjutkan diskusi film. Ada 4 judul film yang ditayangkan malam itu, yakni: Junaidi, Sepiring Bersama, Pepadu, dan Jamal. Saya coba membahasnya satu persatu ya, sekali lagi sebagai seorang penikmat film pemula. Disclaimer dulu, saya jarang sekali menulis tentang film, mohon maaf kalau ada salah kata.
1. Junaidi, Si Bujang Lapuk yang Menolak Jadi TKI
Lulus kuliah, jadi sarjana, namun kemudian hanya berakhir jaga kandang alias sehari-harinya di rumah. Diperparah lagi dengan status sebagai anak pertama, laki-laki pula. Bukankah seharusnya menjadi contoh bagi adik-adiknya? Maka bersiaplah jadi omongan di mana-mana, terutama oleh yang terdekat: orangtua. Adalah Junaidi, seorang laki-laki yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Berbeda dengan kedua adiknya yang bekerja di luar negeri, Junaidi sehari-harinya hanya di rumah, sesekali ke sawah untuk membantu Amaq (bapak dalam Bahasa Sasak) bekerja. Oleh Inaq (ibu dalam Bahasa Sasak), Junaidi sering kali jadi bulan-bulanan karena belum juga mendapatkan pekerjaan. Tak jarang dirinya dibanding-bandingkan dengan kedua adiknya yang sudah sukses sebagai TKI di luar negeri, yang bisa membelikan ini itu, pun rutin mengirimkan uang setiap bulannya untuk kebutuhan orangtua di rumah.
Lantas bagaimana hari-hari yang dilalui oleh Junaidi? Apakah ia mengikuti jejak kedua adiknya menjadi buruh migran? Berusaha mencari pekerjaan lain tanpa harus tinggal jauh dari rumah? Ataukah bertahan di rumah saja dengan rutinitas ocehan dari Inaqnya?
Film garapan sutradara Ahyar Hambali ini sukses membuat saya tertawa terbahak-bahak sejak awal. Omelan Inaq yang sungguh tidak ada habisnya benar-benar menggambarkan “emak-emak banget”, yang kayaknya kok semuanya dikomentari, semua dikeluhkan. Ditambah adanya Junaidi, bahan untuk Inaq ngomel-ngomel, bujang lapuk yang belum juga dapat pekerjaan. Saya pikir tawa ini hingga akhir, nyatanya saya bisa dibuat terdiam, terharu, dan merasakan perasaan lainnya saat menyaksikan Junaidi. Nanti kalian bisa rasakan sendiri saat menyaksikannya. Oh ya, penggunaan Bahasa Sasak dalam seluruh obrolan di film, kita bisa menemukan keindahan Tete Batu sebagai latar tempatnya, yang merepresentasikan Pulau Lombok.
2. Sepiring Bersama, Seketika Ingin Memeluk Hilwa
Usai dibuat tertawa di awal penanyangan film sebelumnya, saya jadi menebak-nebak, bakal diapakan perasaan saya pada film selanjutnya nanti? Tertawa lagi kah? Atau mungkin sedih? Film garapan sutradara Muhammad Heri Fadli ini dimulai dengan memperlihatkan seorang tukang kayu yang dibayar dengan upah seadanya. Namun bukan di situ puncaknya, melainkan ketika Hilwa- sosok perempuan kecil berusia sekitar 8 tahun sedang bermain bersama teman-temannya. Saat teman-temannya dipanggil dan disuapi nasi oleh ibunya masing-masing. Terkecuali Hilwa, selama beberapa menit, ia terdiam di tanah lapang tempatnya bermain. Tidak ada yang memanggilnya, tidak ada sosok ibu yang menyuapinya, menyuruhnya semangat menghabiskan nasi hangat yang ada di piring.
Hilwa hanya memiliki paman (sosok tukang kayu di awal cerita tadi) dan Papuq (kakek) yang sudah lanjut usia. Ayahnya pergi entah ke mana (mungkinkah bercerai?), sementara ibunya bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. “Malaysia itu di mana paman?”, tanya Hilwa. “Jauhhhh..”, jawab paman. Sang Paman tak sanggup menjawab semua pertanyaan yang keluar dari bibir mungil itu, disiapkannya nasi putih hangat dalam sebuah piring. Kemudian disuapinya ponakan kecilnya itu. Mungkin sambil menahan haru, mungkin pula sambil berpikir: sanggupkah ia membesarkan si ponakan? Bisakah ia dan ayahnya (Papuqnya Hilwa) menjadi sosoak Amaq (Ayah) dan Inaq (Ibu) bagi Hilwa?
Faktanya, hingga hari ini, lebih dari 30.000 anak di NTB yang tumbuh tanpa asuhan orangtuanya sebab ditinggal bekerja menjadi buruh migran. Ya, film pendek tersebut ditutup dengan barisan teks tersebut. Deretan huruf yang membuka mata saya lebar-lebar, menghujam jantung. Ah, betapa menyedihkan sebab ada banyak sekali Hilwa lainnya di luar sana. Sekaligus membuat saya banyak-banyak bersyukur, hingga kini bisa membersamai kedua anak saya, Rani dan Tita. Senantiasa ada di setiap milestone tumbuh kembang mereka. Sesuatu yang mungkin sangat langka dirasakan oleh anak-anak lainnya.
3. Pepadu, Ketika Dihadapkan pada Pertarungan Sesungguhnya
Tidak seperti biasanya, pagi itu, Anji enggan berangkat sekolah. Rupanya ia menunggak iuran sekolah hingga 6 bulan lamanya. Amaqnya, yang setiap hari berjualan manisan rambut nenek (eh di Lombok namanya apa ya?), pagi itu memutuskan untuk mengantar Anji. Ia berniat bertemu dengan gurunya di sana, meminta keringanan untuk melunasi pembayaran iuran sekolah tersebut. Sayangnya, tidak ada keringanan lagi, Amaq hanya diberi waktu hingga besok untuk melunasi seluruh tunggakan. Lunasi 6 bulan tunggakan iuran sekolah, atau Anji tidak bisa naik kelas. Bagaimana caranya bisa mendapatkan sejumlah rupiah dengan hanya berjualan manisan rambut nenek? Sepanjang jalan Amaq berpikir keras, hingga tersadarkan dengan melintasnya mobil yang menginfokan ada pertandingan peresean dengan hadiah fantastis.
Amaq pun menuju area pertarungan tersebut. Melihat para pepadu (petarung) di sana. Sambil menimbang-nimbang, haruskah ia kembali menjadi pepadu? haruskah ia kembali bertarung? Sembari bayangan akan kepastian naik kelas atau tidak Anji-sang anak terus bermunculan. Belum lagi ada kejadian di masa lalu, di mana mertuanya yang juga seorang pepadu, meninggal dunia saat bertarung. Kejadian yang kemudian membuatnya berjanji pada keluarganya, khususnya sang istri- untuk tidak lagi mengikuti peresean. Tapi ah, iming-iming hadiah sebesar uang tunai 3 juta untuk juara 1, dan seekor anak kambing untuk juara 2, benar-benar menjadi penyemangatnya. Terbayang ia bisa melunasi uang sekolah Anji dengan hadiah tersebut. Lantas apakah Amaq memutuskan untuk kembali bertarung? Atau tetap memenuhi janjinya pada sang istri untuk tidak lagi menjadi pepadu?
Ketika Kalian Bisa Sekolah, Maka Belajarlah dengan Giat
Ya, ketika kalian mendapatkan privilege untuk sekolah, maka belajarlah dengan giat. Entah itu privilege untuk bersekolah di tempat wah- dengan fasilitas yang lengkap, atau sekadar bisa bersekolah tanpa harus menunggak iuran selama berbulan-bulan, seperti yang Anji alami. Lihatlah, betapa orangtua kita berjuang keras, berdarah-darah, mengupayakan segalanya demi kita anak-anaknya. Demi anaknya bisa sekolah.
Film garapan sutradara Ming Muslimin ini mengambil daerah selatan Pulau Lombok sebagai latar tempatnya. Memperlihatkan Peresean, bahkan menjadikannya bagian cerita dari film ini, yang selama ini kita kenal sebagai tradisi masyarakat Sasak dan dipertunjukkan kepada para wisatawan. Tempat Anji bersekolah, yang rupanya adalah bangunan sekolah dari MI Nawwarul Uyun di Permas, Sekaroh, Lombok Timur, mengingatkan saya pada kegiatan Kelas Inspirasi Lombok baru-baru ini. Ya, sekolah tersebut menjadi salah satu tempat pelaksanaannya. Meski saya tidak ikut serta, lewat film saya jadi ikut melihat gambaran betapa sederhananya sekolah di sana.
4. Jamal, Film Sederhana yang Membuat Perasaan Kita Rumit
Film Jamal adalah tentang pengambilan gambar yang sederhana, menggambarkan satu panorama alam yang tandus. Ada sebuah rumah sederhana, sebatang pohon, dengan ayunan yang menggantung di salah satu dahannya. Sepanjang film, penggambilan gambar hanya dari situ saja, dari kejauhan, memperlihatkan tiga bagian: tanah, garis batas tempat berdirinya bangunan rumah, pohon, tempat berdirinya orang-orang, dan terakhir yaitu hamparan langit. Jamal adalah film dengan pengambilan gambar yang sederhana, tak banyak obrolan, namun sukses membuat rumit perasaan hati para penontonnya. Tentu saja, termasuk saya.
Ketika suami pergi bekerja, yang kita harapkan adalah ia kembali pulang ke rumah dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Bahkan kalaupun ia pulang tanpa membawa sepeser pun uang, tak apa, esok bisa dicari lagi. Keselamatannyalah yang utamanya. Tapi lain halnya dengan yang terjadi di film Jamal, ketika seorang ibu dan anak perempuannya, menjalani aktivitas seperti biasa. Ia menjemur pakaian, dan anaknya tengah bermain ayunan. Hingga seorang ponakan berlari menghampirinya, “Bik.. Paman pulang”, teriaknya. Bayangkan, dalam waktu sesaat itu apa yang ada dalam pikirannya? Suaminya tiba-tiba pulang, tentu hal yang menyenangkan. Namun mengapa ia harus bersedih? Bahkan terisak-isak. Sedih mendalam yang kita tidak perlu pengambilan gambar secara zoom in untuk melihatnya dengan jelas, dari jauh saja, dari teriakan kerasnya- sudah tergambar.
Film Pendek dengan Banyak Penghargaan
Saya sempat berpikir bahwa film garapan sutradara Muhammad Heri Fadli ini memiliki tempo yang lambat, membosankan, kok gini kok gitu. Lalu saya berpikir kembali, ah tidak..film ini sangat dalam, ceritanya kuat, benar-benar menggambarkan keresahan. Ini film sederhana yang membuat rumit perasaan hati para penontonnya, perasaan saya langsung tidak enak, sedih tentu saja. Kalau ada perasaan yang melebihi sedih, itulah yang saya rasakan. Rumit melihat apa yang digambarkan dalam film ini, yang pada kenyataannya memang benar-benar terjadi. Kita, ah saya ke mana selama ini? Perlu berapa banyak lagi kejadian para pekerjaa migran yang dipulangkan dalam keadaan sudah tak bernyawa? Tak heran jika kemudian film Jamal hingga kini telah diputar di berbagai festival film di luar negeri sana, dan mendapatkan banyak penghargaan, salah satunya pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2020.
Apakah Lombok Semenyedihkan itu?
Kita kembali pada pembahasan di awal tulisan tadi. Empat film yang diputar, Junaidi-Sepiring Bersama-Pepadu-Jamal, sama-sama menggambarkan kesedihan, apakah selanjutnya film Lombok akan demikian adanya? M. A. Nur Kholis, yang merupakan Kepala Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Universitas NU Mataram, memimpin diskusi usai pemutaran film dengan baik. Mengakomodir pertanyaan demi pertanyaan dari para penonton, masukan, serta kesan, yang mungkin sebenarnya ada banyak sekali, namun terbatas durasi waktu yang diberikan penyelenggara.
Kita terlalu banyak tertawa, sampai lupa di sekeliling kita ada banyak kesedihan
– Muhammad Heri Fadli, sutradara Sepiring Bersama dan Jamal
Begitulah Heri, sang sutradara menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang penonton. Pertanyaan yang kemudian saya jadikan judul dari postingan blog ini. Ah, ya..benar adanya, kita terlalu banyak tertawa, terlalu larut akan berbagai euforia, sampai melupakan hal-hal menyedihkan di sekitar kita. Dari mana datangnya ide film Sepiring Bersama dan Jamal yang ia buat? Heri berangkat dari keresahan di sekelilingnya, dari banyaknya anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa asuhan orangtuanya. Keresahan yang sama yang dirasakan oleh I Putu Yudhistira, sang produser dari film Sepiring Bersama dan Jamal. Kesehariannya sebagai salah seorang pegawai yang berkutat dengan data di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, membuatnya miris dengan berbagai data yang menunjukkan betapa banyaknya masyarakat Lombok yang memutuskan menjadi TKI. Termasuk pula berbagai kejadian yang menerpa para TKI di sana.
Berangkat dari Keresahan yang Terjadi di sekitar Kita
Percayalah, mewujudkan keindahan itu lebih rumit daripada mengeksplor kesedihan
– Ming Muslimin, sutradara film Pepadu
Sutradara film Pepadu turut menjawab pertanyaan terkait “Apakah Lombok semenyedihkan itu?”. Jawaban yang sebenarnya ada kaitannya pula dengan jawaban dari seorang sutradara lainnya lagi.
Kita berangkat dari sekitar kita. Itu yang membuat ruh film ini terasa sampai ke penonton. Ya, berangkat dari keresahan.
– Ahyar Hambali, sutradara film Junaidi
Film Lombok tidak harus melulu sedih kok. Nyatanya memang Lombok tidak semenyedihkan itu, tapi tawa kita terlalu banyak, sampai melupakan hal-hal yang dekat. Empat film ini berangkat dari segala hal yang pembuatnya resahkan. Esok, lusa, atau entah suatu saat nanti sineas Lombok bisa membuat film apa saja, tidak harus sesedih ini, tidak harus menjadikan kesedihan sebagai kiblat.
Apapun itu, terima kasih program Sinema Akar Rumput. Terima kasih kepada Kak Ahyar, Kak Heri, dan Kak Ming, yang sudah menuangkan kegelisahannya dalam bentuk karya. Terima kasih sudah mengajak kita untuk tidak lupa, tidak melulu tertawa, membuat kita membuka mata lebar-lebar pada apa yang sebenarnya terjadi.
Yuk bisa yuk, ada screening lagi. Masyarakat Lombok harus menyaksikan film-film keren ini!
Gule gending (bukan manisan rambut nenek)
Terimakasih Mb Andy. Ulasannya panjang lebar komplit. Good…Salam apresiasi.
Baru lihat trailernya aja emang bikin penasaran ceritanya, rata-rata memang menceritakan kisah dikehidupan yang nyata. Sederhana tapi bikin kita ikutan merasakannya.
Jadi penasaran deh pengen nonton yg sepiring bersama. Pernah ke Lombok alhamdulillah ga ada yg bikin sedih sih malah puas jalan-jalan. Mungkin harus lebih lama lagi disana ya supaya tau sisi lombok yg lain hehehe
Andy, Lombok banyak memberi keceriaan buat keluarga bunda tetutama cucu yg exciting banget. Tp baca judul Postingan Andi dengan judul yg sedikit mengusik hati bunda jd penasaran pengen juga ngulik kl ada di Youtube tentang keepat judul film pendek itu. Start hunting ah!
Sutradaranya atau penulis skenarionya nih yang keren…mampu mengaduk perasaan para penontonnya hingga ikut terhanyut dalam cerita di film tersebut. Penasaran bgt jadi pengen nonton
Keren banget 4 film sekalgus ditayangkan. Film ini juga kyk menyadarkan bahwa Lombok gak cuma indah2nya doank tapi masih banyak hal perlu diperbaiki ya supaya masyarakatnya juga sejahtera seiring perkembangan pariwisata yang kelak akan makin maju juga.
Wah, 4 film sekaligus ya mbak.. habis baca reviewnya aku penasaran banget sama semuanya. Ternyata selain menjadi tempat wisata yang cukup terkenal ada sisi lain dari Lombok ya
30.000 banyak banget ya?
Jadi inget anak2 di jawa barat dan beberapa daerah lain yang menjadi lumbung buruh migran
Devisa yan mereka hasilkan harusnya bisa menciptakan lapangan kerja yang layak di Indonesia
Baca sinopsisnya kayaknya film2nya bagus nih. Tapi aku yang di Jawa bisa nonton dimana ya? Pengn juga nonton film full nya di youtube cm trailernya ya
wow menonton 4 film pendek dalam satu waktu. masing-masing film memiliki pesan yang kuat ya mbak, memotret realita yang ada di masyarakat lombok.
Kalau yang nonton dari luar Lombok, bisa sekalian belajar bahasa Sasak nih
Keresahan memang sering membawa inspirasi dalam berkarya termasuk dalam pembuatan film. Justru berangkat dari keresahan dan memotret keadaan sesungguhnya membuat sebuah film nampak nyata dan mempunyai ruh yg kuat
film2 pendek kalau udah ngide hubungan anak dan orangtua, pasti bawaannya sedih banget. terbaek sih ya adanya program Sinema Akar Rumput, keren 🙂
Wih, 4 film ya, Mbak. Keren. Aku suka sama film yang angkat realita suatu daerah, apalagi kearifan lokal. Penasaran. Jadi pengen nonton filmnya.
Seru sekali bisa nonton 4 film pendek yang berkualitas kayak gitu, semuanya berkesan banget yah mbak. Seneng deh nonton film yang ketika pulang bisa bikin kita jadi merenung tentang banyak hal.
Dianggap menyedihkan karena berarti film pendeknya sukses menghanyutkan para penonton, sehingga terbawa suasana. Ah jadi penasaran sama 4 film pendek ini
Saya kok mendadak sedih saat membaca ulasan tentang Hilwa. Ya Allah. Apalagi kemudian menyadari bahwa ada 30.000 anak-anak seperti Hilwa yang ditinggalkan oleh orangtuanya yang bekerja sebagai buruh migran. Menitik airmata saya Mbak. Baca aja sedih apalagi kalau nonton langsung. Bisa banjir airmata saya.
Saya salut loh banyak sineas yang mampu melahirkan karya yang mengangkat tema-tema sosial dan keluarga. Kalau nonton atau baca ini, tak henti bersyukur pada Allah SWT karena hidup dalam keadaan yang lebih baik dari orang lain.
Setelah baca sinopsisnya kelihatannya sih … bagus ya film . Jadi penasaran juga nih … mau nonton di youtube
Aku baca aja ikut basah air mata..apalagi nonton ya.
Pembuat film yang jeli melihat sekitar dan dengan apik mengangkatnya ke layar lebar.
Semoga kenyataannya Lombok tidak semenyedihkan itu…
Bagus banget kisah-kisah yang diangkat. Memberi gambaran berbagai persoalan sosial yang harus menjadi perhatian kita bersama. Btw saya kok penasaan banget dengan ending ceritanya jamal ya. Ikut deg-degan apa yg sebenarnya terjadi dg sang kepala rumah tangga
Baca sambil lihat thrilernya aduhai WOW, film pendek gini aku belum pernah menyaksikan apalagi di bioskop, ini 4 sekaligus film pendek diputar dan temanya itu sebenarnya ada disekitar kita yang kadang kita gak ngeh.
Lombok tidak semenyedihkan itu, tapi tawa kita terlalu banyak, sampai melupakan hal-hal yang dekat.
Setelah membaca panjang, saya terhenti di kalimat itu mbak. Sebuah kalimat yang mengajak untuk merenung. Sangat bermakna.
Aku jadi penasaran ingin menonton semua filmnya, mungkin bisa jadi melihat pangsa pasar perfilman mbak. Tapi bisa jadi usulan bagi para sineas untuk menampilkan sisi Lombok yang lebih ceria dan berwarna ya mbak.
Daku pun demikian kak Chichie. Semoga bisa lebih berwarna, tapi tetap dengan memberikan pesan moral juga
Betul, kak Andy.
Aku belajar banyak hal juga mengenai kesedihan terkait timpangnya keadaan sosial di sekitar kita. Dan benar adanya, ketika kita memiliki masalah, itu menjadi berat ketika kita berambisi lebih. Tapi akan menjadi lebih ringan ketika membuka mata dan melihat sekeliling kita.
Suka banget sama sineas yang dihadirkan dalam film pendek Sinema Akar Rumput. Sangat menguras emosi yaa.. Asik kalo uda bisa ngajak anak cukup usia untuk diajakin diskusi film. Kami juga suka begini kalo ketemu film yang oke.
Kalau pesannya sampai bikin sedih itu pasti aktingnya kece banget ya. Aku jadi kepo nih, apakagi kalau film pendek itu kan harus memangkas banyak hal tapi pesannya nyampe. Keren sih film tentang Lombok
Jadi penasaran pengen nonton film-fimnya. Film Jamal ini keren, ya. Udah diputar di berbagai festival film di luar negeri. Dapat penghargaan juga di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2020.
kayaknya film nya keren-keren deh ini, baca aja udah kagum. film-film pendek karya anak bangsa gini memang banyak yang keren ya.
Kukira lombok yang memiliki suasana alam seindah itu tidak ada kesedihan di dalamnya. Nyatanya melalui 4 film pendek di atas, masih ada duka yang tersembunyi. Mungkin benar ya Mba, Kita terlalu banyak tertawa sampai tidak memperhatikan kondisi di sekitar kita yang butuh bantuan atau kasih sayang.
Masyaallah bener juga ya mbak kita yg bukan oramg Lombok taunya keindahan pulau Lombok aja bahkan mungkin penduduk asli pun ga menyadari masalah yg diangkat di film. Semoga bisa jd bahan renungan pqfa ortu kelak ya bagus si nyari rezeki tp jangan sqmpai tanggung pengasuhan anak kita lupqkan. Btw jd pengen nonton film2nyq deh. Aku coba cej YT ah
aku belum nonton film ini mba.. memang banyak masalah sosial yang diangkat dan pastinya mendapat banyak perhatian yaaa
Film keren semua! Masyarakat Lombok memang harus menyaksikan. Tapi kami di luar Lombok juga pengen menyaksikan. Boleh dong ya 😀
Filmnya bagus-bagus ya, Mbak. Menyadarkan pada kita bahwa masih ada kesedihan yang dialami oleh anak bangsa.
Selama ini saya mengenal Lombok sebagai daerah yang indah dan penuh dengan kebahagiaan. Ternyata ada sekelumit cerita yang bisa diambil hikmahnya.
baca sekilas tentang Hilwa kok ikutan sedih … ga cuma di NTB, ada daerah di Jawa Timur bagian timur (lupa kabupaten apa) banyak orang tuanya yang bekerja sebagai TKI/TKW. Alhasil anaknya tumbuh yatim piatu sosial. Orang tua masih hidup tetapi tidak hadir dalam tumbuh kembang anak. Hiks, sedih banget mbak … jadinya ada komunitas yang bergerak bekerja sama mengasuh anak-anak supaya tetap merasa punya “orang tua”
Kalau film pendek gini memang biasa mengambil kisah nyata. Dan itu terjadi di lingkungan kita. Apalagi soal sarjana yang masih jadi pengangguran, di Lombok aja, di daerah saya pun njeprah.
Belum lagi masalah sosial dan ekonomi lainnya. Tentang hubungan orang tua dan anak, ya gitu lah kehidupan.
Kadang bagus juga loh kak nonton tanpa bekal, jadi murni nonton apa adanya tanpa dipengaruhi hal-hal dari luar.
Jadi ini harinya Rani sama mama ya, trus jajan apa nih? hihihi
Duh aku jad tertawa nih, padahal lagi sedih. Tapi bagus juga sih makna yang ada di film ini ya
Dari ulasan ini, aku tahu film pendek yang Mbak tonton tuh menarik. Sering ide cerita berasal dari lingkungan sekitar kita. Meski banyak sedihnya, aku yakin banyak hal bahagia juga. Setengah-setengah kali yaaa. Semoga habis ini aku bisa nonton juga Film-film di atas
Wah seru juga ya mbak menonton film pendek seperti ini
Apalagi ceritanya diangkat dari kisah-kisah sekitar kita
Daebaakkk
Keren bgt ini pilem2nyaaa
Pantengin trailer nya aja udah WOW
Selamat dan bangga bgt akutuu
Waah baru tahu film ini sih pak
…wajib aah di tonton apalagi banyak yang info baguss.
Kowr ha duit maak,,,,bismillah berkah ya maak kerja di mamgkuneran?
Kayaknya klo nonton ini kudu bawa box tissu biar ga meler terus ingus dan airmatanya.. Xixixi
..
Sebenarnya tidak hanya di Lombok saja berbagai kisah sedih itu terjadi. Dimana-mana ada. Berbagai kisah di atas diangkat agar kita bisa mendapatkan hikmah dari pelajaran hidup. Hidup memang tak selalu mudah, tapi nilai perjuangan dari si tokoh ini yang menjadi sesuatu yang ditonjolkan.
Deretan film-fim pendek yang punya alur menarik, jadi pengen nonton juga. Apalagi ada film Jamal yang dapat penghargaaan. Meski sedih engga berarti semua tentang Lombok semenyedihkan filmnya. Itu hanya pemgambilan sudut cerita aja
Saya jadi penasaran pengen lihat film2nya ini, keren dan pastinya banyak pesan moral yg bisa kita ambil.
Pengambilan gambarnya, tokoh pemerannya, dapat semua mewakili cerita yang akan disampaikan. Lombok memang indah, dan seperti tempat lainnya pasti menyimpan sisi lain.
Kisah kehidupan sehari-hari ini kadang memang sangat relate yaa.. Kitapun tak sadar melakukan hal tersebut sehingga bisa mentertawakannya. Namun dibalik itu semua, ada pesan yang bisa ditangkap dan sineas seperti ini yang bikin penonton bisa berdiskusi dan saling memberikan pesan terbaik.
Melihat trailer nya, aku jadi pengin nonton semua film nya mbak. Karena banyak sekali pesan yang terdapat dalam film-film yang sudah mbak review dengan detail 🙂
Kok saya jadi penasaran buat nonton filmnya, kayaknya seru banget ya. Pas nih saat weekend nobar bareng keluarga
Apa rasanya yaaa 4 film ditonton sekaligus dalam bioskop? saya pengen nonton Junaidi deh, Mba… lucu keknya yaa… kalau yang lain pasti mengandung bawang. Saya mau yang seneng-seneng aja.
Belom nonton filmnya tapi kadanv film pendek itu sesuai dgn realitanya di masyarakat. Semoga smakin banyak film pendek sperti ini