Lahir di Bali, dan Hebohnya Komentar Orang Sekitar. Bagaimana rasanya lahir di Bali? Destinasi wisata yang sudah sangat dikenal di mata dunia. Tempat yang diimpikan oleh para wisatawan. Pertanyaan demikian sebenarnya lebih seru kalau dilengkapi menjadi: gimana sih rasanya lahir dan besar di sana-di tempat yang dijuluki Pulau Dewata? Sayang sekali, baik versi singkat maupun lengkapnya pertanyaan tadi, tidak ada yang dapat saya jawab. Mengapa? Ya karena tahu-tahu saya sudah menghabiskan puluhan tahun di Makassar, ibu kota provinsi Sulawesi Selatan.
Saya mana tahu bagaimana udara di Bali, destinasi wisata, atau orang-orang di sana. Dalam lingkup keluarga saja, sudah biasa tuh kami bercanda bahwa saya ya numpang lahir saja di sana. Toh rasanya sama saja, mau lahir di belahan bumi mana pun. Hahaha. Tapi yang bikin heboh ya saat mendapat komentar dari orang-orang sekitar, terutama nih saat mengingat komentar teman-teman dulu di bangku sekolah dasar. Mungkin bukan karena kelahiran Bali ya, lebih tepatnya Denpasar (btw, saya lahirnya di kota tersebut), lebih karena daerah kelahiran saya yang berbeda dari teman-teman lainnya. Gitu gak sih?
Lahir di Bali, dan Hebohnya Komentar Orang Sekitar
Zaman sekolah dulu, udah biasa tuh kami sekelas saling lihat rapor. Buku catatan data murid yang dimiliki oleh wali kelas pun biasa dilihat bareng, terutama ketika bapak/ibu guru meminta yang bersangkutan untuk mengecek kembali benar tidaknya data tersebut. Belum lagi saat mengisi formulir-formulir tertentu dari sekolah yang di dalamnya ada pertanyaan terkait tempat dan tanggal lahir. Tepat ketika tuntas saya menulis kata Denpasar pada formulir, berbagai respon dari murid-murid lainnya timbul. “Kerennya tawwa..di Bali ki lahir!” (Keren sekali, dia lahir di Bali), ujar seorang teman yang seolah memberi tahu teman lainnya.
Komentar lain timbul setelahnya, yang intinya adalah keren amat sih kelahiran sana- Bali. Wajar saja, saya sekolah di Kota Makassar, yang tentu saja murid lainnya didominasi dengan tempat kelahiran Makassar atau Ujung Pandang. Kalau pun ada yang berbeda, ya paling tidak jauh-jauh dari kota dan kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan. Ada sih yang lahir di kota lain di luar Pulau Sulawesi, seingat saya Jakarta atau Surabaya ya? Tapi tetap saja mereka pada hebohnya dengan daerah kelahiran saya. Hahaha.
Bagaimana Rasanya Jadi Kelahiran Bali?
Mama saya bercerita, bahwa saat usia saya belum sebulan, kami sudah harus mengikuti Bapak yang pindah tugas ke Banjarmasin. Beberapa sumber malah menyebutkan bahwa usia saya kala itu baru beberapa minggu. Beberapa sumber banget.. wkwkwkw. Saya mikirnya sih emang bisa ya bayi usia belum sebulan naik pesawat? Atau waktu itu dari Bali ke Banjarmasin kami menggunakan kapal laut? Ah, dasar overthinking! Intinya begitu ya teman-teman, jadi gak ada ceritanya tuh saya besar di Bali, menghabiskan hari-hari di sana menghirup udara Pulau Dewata, mengunjungi destinasi wisatanya yang indah, apalagi sampai upload story di IG.
Jadi saat ditanya, bagaimana rasanya lahir di Bali? Ya udah, rasanya keren aja. Hahahah. Keren karena berbeda sama daerah kelahiran teman-teman sekolah, pun saudara. FYI, kakak-kakak saya pada lahir di Mataram dan Sumbawa Besar (semuanya di NTB). Tapi tentu akan lain ceritanya kalau kemudian saya besar dan bersekolah di sana, ya iyalah..mungkin satu sekolah pada kelahiran Bali semua.
Kembali ke Bali Setelah 24 Tahun Berlalu
Kalau dipikir-pikir, rasanya ya emang lebih tepat saya disebut numpang lahir aja ya di Bali. Percaya tidak, sejak dilahirkan di tahun 1991 lalu, saya baru menginjakkan kaki lagi di Bali bertahun-tahun setelahnya. Tepatnya di tahun 2015 lalu. Hahaha. Bahkan meski di tahun 2012 saya akhirnya pindah dari Makassar ke Mataram, yang mana Mataram berada di Pulau Lombok, sampingan banget sama Bali (naik pesawat gak sampai sejam, naik ferry cuma 4 jam), ya gak pernah juga main-main ke sana. Transit pesawat sih sering ya, mengingat penerbangan Lombok-Makassar (FYI, saya masih sering bolak-balik ke Makassar) transitnya paling sering di Bali.
Pengen sekali rasanya ke Bali, ya biar ada ceritanya gitu, gak sekadar lahir doang di sana. Hahaha. Tapi gak tahu ya, antara waktu atau dananya yang belum cocok #eh. Padahal ke Bali doang, ngomongin dana udah macam mau ke Zimbabwe.
Sampai suatu ketika di tahun 2015, kayaknya sebelum saya memenangkan lomba menulis berhadiah tiket pesawat ke Bandung deh. Saya dapat info bahwa si kakak yang tinggal di Makassar akan mengikuti acara gathering di Denpasar, dan ponakan saya pun ikut serta. Sayangnya, karena waktunya mepet, mereka gak bisa menyempatkan diri ke Lombok. Sat set sat set, terpikirlah untuk motoran ke Bali bareng pak suami dan si sulung, Rani. Biar bisa ketemuan sama si kakak dan ponakan, plus jadi deh kitanya ke Bali. Hahaha.
Pengalaman Pertama Motoran ke Bali
Emang ya, yang dadakan itu biasanya yang jadi. Bayangkan, udah beberapa kali berencana ke sana, kok ya gak jadi-jadi. Giliran dadakan gini, eh terlaksana. Dasar gak punya kostum yang mumpuni, beberapa hari sebelum hari H, kami sempat lho jajan celana dan jaket outdoor dulu, beli sepatu sandal yang nyaman, plus tentu saja tanya-tanya ke teman atau keluarga yang pernah motoran ke sana. Lebay gak sih? Biarin deh, toh ini juga kali pertama. Sampai nih izin ke mama untuk berangkat, oh tentu saja mama sangat mengkhawatirkan cucunya yang usia 4 tahun itu. Meski udah diyakinkan nih anak strong kok, melow juga beliaunya. Alhamdulillah sih tetap berangkat, ya masa gak diizinkan udah mau cuss gitu.
Kami bertiga hanya membawa dua tas ransel. Oh ya, awalnya Rani duduk di antara saya dan papanya. Namun saat sudah setengah perjalanan dari Kota Mataram ke Pelabuhan Lembar di Lombok Barat, dia protes karena jadi gak bisa melihat pemandangan. Ya udah, pindah deh ke depan. BTW, perempuan kecil yang dikhawatirkan niniknya ini bakal masuk angin, pusing, dan lain sebagainya, terrnyata lebih strong dibanding saya- mamanya, terutama saat di atas kapal. Ampun dah, malu-maluin aja. Hahaha. Maaf, udah lama gak naik kapal gaes~
3 Hari di Bali, Ngapain aja?
Tiba di Bali, kami langsung disambut hujan yang awet. Hujan yang bikin galau antara berteduh apa lanjut aja nih? Akhirnya, karena ada jas hujan juga, jadi kami putuskan untuk tancap gas aja. Ya ampun, itu pertama kalinya saya merasakan jalan Bypass Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Mantra itu sungguh panjang dan tiada habisnya. Beberapa kali saya lihat papan petunjuk informasi jalan yang menuliskan berapa KM lagi baru tiba, yang tetap aja berasa kok lama bener tibanya. Oh ya, kami bermalam di daerah Kuta, booking hotel yang jaraknya hanya tiga bangunan dari hotel yang menjadi lokasi gathering si kakak. Bookingnya dadakan dong, setelah tahu hotel tempat si kakak menginap itu sudah full- dan harganya pun gak cocoklah buat kami yang trip hemat gini hahahha.
Iseng cari di aplikasi pemesanan kamar hotel, eh nemu yang dekat dari sana. Ratenya kalau gak salah 200ribu-an permalam. Udah sama sarapan, dan ada kolam renang. Bagus banget pula kamarnya. Huhuhu. Seketika sebagai warna Lombok, ku mengiri menganan~
Jadi selama tiga hari di Bali, kami ngapain aja? Macam-macam sih, mulai dari gegoleran doang di kamar bareng anak dan ponakan, jalan-jalan ke Nusa Dua- melewati tol yang anginnya aduhai itu (boneka kesayangan Rani hampir terbang entah ke mana, untung sempat ditangkap papanya. Huhuhu), ketemuan sama keluarga, dan yang terakhir adalah: foto di depan tempat praktik dr. Putera Kemara.
FYI, nama saya dulu tuh panjang banget: Andy Hardiyanti Hastuti Putri Kemara. Bapak kasih nama Andy dari gabungan namanya sendiri (Kana’an Effendy), terus ada Putri Kemara itu biar ingat nama dokternya. Tapi pas di akte kelahiran, karena kepanjangan, ya udah gak pakai Putri Kemara. Walau gak ketemu Pak Dokter (hari Minggu, libur), tapi udah happy bisa foto sama plang papan praktiknya gini.
Selalu Ada Alasan untuk Kembali ke Bali
Jadi kapan lagi nih ke sana? Tentu saja keinginan itu selalu ada, terlebih lagi sudah di Lombok gini, sebelahan. Kalau kata orang-orang, lompat doang juga udah sampai. Lah duduk-duduk menikmati sunset di Pantai Senggigi aja, melihat gagahnya berdiri Gunung Agung di seberang sana, berasa Bali tuh dekat banget dari Lombok. Maka selalu ada alasan untuk ke sana, entah untuk eksplor destinasi wisatanya, bertemu keluarga, atau yang lainnya. Bali menarik banget sih menurut saya, terutama perihal bagaimana mereka memantaskan diri menjadi destinasi wisata kelas duni.
Tahun 2015 ke sana, saya sudah terpana akan hotel-hotel kecil (hostel ya?) yang dikelola dengan baik. Mulai dari 100ribu-an aja udah bisa tuh dapat tempat menginap yang bagus, saya waktu itu aja 200ribu-an udah dapat kamar hotel beralaskan karpet, lapang, plus sarapan, dan tersedia kolam renang. Sekarang ini, beberapa kali saya lihat postingan di story teman-teman yang liburan ke Bali, malah ada lho yang bayar 300ribu-an udah dapat kamar hotel di pinggir pantai, dapat sarapan, kamar yang bagus, dan tersedia kolam renang. Di luar itu, salut juga sama yang pada sadar akan kebersihan destinasi wisata, keramahan warga lokal dengan wisatawan, dan masih banyak lagi.
Gelaran Miss Grand International 2022 di Indonesia
Ngomongin tentang Bali, mulai dari saya yang lahir di sana dan dianggap keren oleh-oleh teman, cerita untuk pertama kalinya lagi ke Bali, eh kok ya jadi keingat kapan hari lihat postingan JNE yang membahas gelaran MGI. MGI atau Miss Grand International 2022 kali ini rupanya diselenggarakan di Indonesia, tepatnya di Jakarta dan Bali. Dengan menghadirkan total 75 kontestan dari berbagai negara, kontestasi ini diawali dengan opening ceremony dan gala dinner yang di The Seminyak Beach Resort&Spa Bali, (7/10) lalu.
Untuk detail acara sendiri, akan berlangsung di Bali-tepatnya di Denpasar pada 4-14 Oktober 2022, serta di Jakarta pada 14-25 Oktober 2022. Loh, kok saya lihat info kegiatannya di akun JNE? Apa hubungannya? Oalah, rupanya JNE menjadi Official Logistics pada gelaran Miss Grand International 2022. Keren banget sih, dukungan tersebut ya gak jauh dari tagline yang selalu diusung yaitu Connecting Happiness. Tentang bagaimana JNE yang selalu semangat mengantarkan kebahagiaan, menjalin hubungan, kolaborasi, dengan siapa saja.
Selain menjadi Official Logistics dalam gelaran MGI 2022, pada opening ceremony lalu hadir Kepala Cabang JNE Denpasar, Alit Septiniwati yang menyerahkan donasi kepada Sanggar Tari Pradnya Sari. Dimana sanggat tersebut dipilih karena telah menjadi lembaga yang memfasilitasi anak disabilitas dan anak kurang mampu untuk ikut belajar menari. Masya Allah, keren banget sih, connecting happiness banget gak tuh?
–
Baca apa yang dilakukan JNE tersebut jadi senang bagaimana kreativitas generasi muda di Bali mendapat dukungan. Ah, jadi gak sabar nih untuk kembali ke Bali. Bagaimana dengan teman-teman? Punya cerita tentang pengalaman ke Pulau Dewata?
Cerita lahir di kota yang berbeda Ama tempat besar, itu aku rasain juga mba 😁. 18 THN aku tinggal di Aceh Utara, dan kebanyakan temen2 ya pada kelahiran Aceh. Rasany di kelas cuma aku yg kelahiran Jakarta 😅.jadi berasa beda memang. Adek2ku juga semua di Aceh lahirnya. Tapi Krn skR aku udh JD warga JKT, ya buatku ga istimewa lagi 😂.
Bali itu memang ngangenin. Aku punya banyak memori sih di sana. Trutama dengan pak suami 😄. Dulu sebelum pandemi , masih kerja di salah satu bank asing, outing kantor tiap tahun pasti Bali. Sempet bosen sih aku kesana. Tapi setelah pandemi, dan begitu bisa traveling Maret kemarin, destinasi pertama yg kami tuju malah Bali. Serindu itu memang.
Tinggal Lombok nih yg aku belum kesampaian. Suami juga udh pengen banget kesana. Semoga bisa dalam waktu dekat